Balap Kelereng

INGAT nggak, ketika kita kecil, mungkin di suasana perayaan tujuh belasan di kampung? Di sebuah lintasan rumput atau tanah, ada beberapa lintasan yang dibatasi tali rafia. Kita, yang masih kanak-kanak, ada di salah satu lintasan tersebut. Di depan wajah kita, ada sebuah sendok yang kita gigit pangkalnya. Di cekungan sendok itu ada kelereng. Kita jaga mati-matian supaya kelereng itu tidak jatuh dari sendok, selama kita berjalan secepat mungkin menuju garis finish di depan sana.

Ketika itu, jantung kita berpacu kencang, kencang banget. Dag-dug-dag-dug… . Nafas kita memburu, saling menyusul dengan detak jantung. Di punggung, kedua tangan kita saling menggenggam. Kaki-kaki kita mencoba melangkah secepat mungkin, tapi kita atur kecepatannya sampai pada titik yang ‘pas’ : tidak terlalu lambat sehingga bisa mendahului peserta lain, tapi tidak terlalu cepat sehingga kita kehilangan keseimbangan dari semua faktor pendukung, yang pasti akan menyebabkan ‘out of control’: kelereng kita jatuh dari sendoknya. Ada satu titik yang paling pas, somewhere in between, dan kita akan menemukan ‘titik keseimbangan semuanya’ itu dalam di proses melakukannya. Titik itu akan kita temukan sendiri setelah berangkat dari garis start.

Kita bahkan tidak menyadari teriakan-teriakan penonton yang begitu riuh. Ekspresi orang tua kita yang begitu senang menyaksikan kita ‘bertarung di arena’ sambil bertepuk tangan memberi semangat, tidak lagi kita perhatikan. Kita pun tidak memperhatikan kalau anak cewek yang kita taksir sedang meneriakkan nama kita di pinggir sana, memberi semangat. Dan kita juga, dengan sendirinya, tidak (merasa perlu) membayangkan gimana manisnya nanti ekspresi senyum malu-malu si anak itu, ketika hadiah kemenangan lomba ini kita kasihkan ke dia. Itu, pretty much, ‘kagak usah dibayang-bayangin sekarang’. Pokoknya manis.

Pada saat itu, kita adalah ‘gladiator’ di arena rumput dan bentangan tali rafia. Kita tidak memikirkan untuk menikmati kemenangan: saat itu kita simply menghirup pertarungannya. Pada saat itu, apapun selain garis finish dan sendok dengan kelereng di mulut sedang tidak relevan di kehidupan kita.

Sebelum berangkat, memang kita menyadari ada penonton, ada arena. Ada orang tua, ada teman-teman, ada ibu-ibu tetangga. Ada ibu tua yang berjualan minuman di pinggir lapangan, ada juga satu-dua balon yang lepas tertiup angin. Anak cewek yang manis itu juga ada di pinggir lapangan, siap memberi semangat. Tapi saat-saat menjelang wasit meneriakkan satu kata yang membuat semua peserta berpacu meninggalkan garis start, semua itu menjadi samar.

Menjelang wasit meneriakkan satu kata itu, alam semesta pelan-pelan menghilang. Dan kita tahu, nanti setelah berangkat, dengan sendirinya detak jantung, kecepatan kaki, sudut kemiringan kepala, tekanan gigi pada sendok, dan akselerasi kelajuan dan meknisme pengurangan kecepatan gerak kaki kita bertemu pada satu titik keseimbangan sempurna. A perfect equilibrium. Pada saat itu, semua hilang. Lenyap. Dan kemudian, di alam semesta ini ada dua hal saja: sendok dengan kelereng di mulut kita, dan garis finish.

Itulah niat.

Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!

Ketika lomba balap kelereng tadi, kita tidak mengatur seberapa harusnya tekanan gigi kita pada sendok. Berapa kecepatan langkah kaki kita. Berapa sudut kemiringan kepala kita. Berapa akselerasi kita, dan pada titik mana kita harus menambah atau mengurangi kecepatan. Mereka yang akan menyesuaikan dirinya masing-masing kepada niat kita.

Niat untuk membawa kelereng di atas sendok sampai garis finish. Apapun selain itu, tidak relevan. Itulah niat. Niat bertaubat, niat kembali dan pulang kepada Allah, adalah seperti itu. Niat shalat, ya kurang lebih begitu. Niat bangun malam, ya begitu juga. Niat puasa, niat studi, ya sama saja kurang lebih. You got the picture.

Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘keterhubungan’, sebuah tekad yang mendasari sebuah ‘harapan’ (kepada Allah ta’ala), yang (membuat Dia berkenan) menundukkan segala sesuatu di alam semesta kepada niat kita.

Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya. Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka sendiri pun lenyap dalam shalatnya. Yang ada hanya Allah ta’ala, dan diri-diri mereka pun hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan satu demi satu ke arah Tuhan mereka.

Dengan niat yang seperti itu, mengucapkan niat secara verbal atau tidak, bukan masalah. Kita tidak harus melafalkan sebelum perlombaan, “Saya niat balap kelereng, menggigit sendok dan menjadi peserta paling depan, dua kali bolak-balik, lillahi ta’ala.” Jika tidak tercipta sebuah ‘keterhubungan’ tadi, walaupun dengan niat yang dilafalkan, pengucapan itu bahkan tidak ada gunanya.

Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri. Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat, seharusnya merupakan ‘rembesan’ dari sebuah niat batin yang naik ke jasad sehingga terlafalkan. Bukan sebaliknya.

“Manusia hanya mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya,” sabda Rasulullah ketika hijrah.

Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya layak kita persembahkan pada Allah ta’ala, sebagaimana hadiah lomba balap kelereng yang akan kita berikan pada gadis kecil yang kita taksir itu. Bayangkan betapa manis senyumnya nanti.

Previous Post Next Post