Tragedi Cinta Para Pahlawan

Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang berhubungan dengan perempuan. Kalau kebetulan psikologis dan biologis terhadap perempuan begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya mereka tidak mendapatkannya ?

Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk bekerja dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka kepahlawanan mereka adalah keajaiban diatas keajaiban. Tentulah ada sumber energi lain yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan mereka.

Ibnu Qoyyim menceritakan kisah sang imam, Muhammad bin Daud Al-Zhahiri , pendiri Mahzab Zhahiriah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau. Tapi, ternyata sang imam justru mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya, tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah bersambung jadi kenyataan. Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait bait puisi sebelum wafatnya.

Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali pula ia patah hati, kata Dr. Abdul Fattah AL-Khalidi yang menulis tesis master dan disertai doktornya tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke kairo untuk belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu.

Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya menjelaskan pesona sang kekasih. Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa Sayyid orang kedua yang telah hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia memimpikan seseorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya perawan fisiknya.

Sayyid Quthub tenggelam dalam penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan hubungannya. Tapi itu membuatnya makin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ada banyak puisi dalam penderitaannya itu. Ia bahkan membukukan romansa itu dalam sebuah roman.

Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, realisme dan sangkaan baik kepada Allah, adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak bermurah hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala harapan; Allah.

Begitulah Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping keping, sembari berkata," apakah kehidupan memang tak menyediakan gadis impianku, atau perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku ?". Setelah itu ia berlari meraih takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fii Dzilalil Qur'an, dan meninggal di tiang gantungan! Sendiri! Hanya sendiri!

Oleh Anis Matta dari Majalah Tarbawi


Previous Post Next Post