Suatu Analisis Tentang Konsep Pendidikan Islam

Pendahuluan
Pendahuluan
ISTILAH pendidikan kerap diartikan secara longgar dan dapat mencakup berbagai persoalan yang luas. Namun demikian, pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari segi pandang individu. (Langgulung, 2000 : 1).
Dari segi pendangan masyarakat, pendidikan berarti pewaris kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Dari segi indiviu pendidikan berarti pegembangan potensi-petensi yang terdalam. Pandangan lainnya adalah pendidikan yang ditinjau dari segi masyarakat dan dari segi individu sekaligus. Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai sekumpulan pewaris kebudayaan dan pengembang potensi-potensi.
Pada pengembangannya pendidikan dipahami orang tidak hanya dari tiga sudut pandang di atas, bahkan melahirkan teori-teori baru yang tentu saja sangat positif bagi kegiatan pengkajian. Namun, tidak hanya sampai di situ, perkembangan ini pula telah melahirkan berbagai keracunan dari pengertian pendidikan itu sendiri.
Pembahasan
Doktrin Islam Tentang Pendidikan
Pembahasan tentang doktrin Islam tentang pendidikan, penulis mencoba memulainya dari sumber-sumber yang ada dalam Alquran. Menurut Hasan Langgulung, istilah pendidikan yang dalam bahasa Arab bisa dipergunakan ta’lim sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 31.
“Dan Allah mengajarkan Adam segalamacam nama, kemudian Ia berkata kepada malaikat : beritahukan Aku nama-nama semua itu jika kamu benar” (QS. Al-Baqarah : 31)
Di samping kata ta’lim, kata tarbiyah juga dipergunakan untuk pendidikan, seperti yang temuat dalam surat Bani Israil : 24.
“… Hai Tuhanku, sangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku sewaktu kecil.” (QS. Bani Israil : 24).
Para ahli berpendapat bahwa kata ta’lim hanya menrujuk kepada pengajaran, sedangkan kata tarbiyah merujuk pada pendidikan dalam lingkup yang lebih luas lagi. Jadi, kata tarbiyah lebih luas pengertiannya ketimbang kata ta’lim.
Lebih jauh lagi, pendidikan dalam pengertian seluas-luasnya muncul dan kemudian berkembang seiring dengan diturunkannya Alquran kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Wahyu pertama sarat dengan spirit bagaimana usaha-usaha pendidikan dimulai. Dalam konteks masyarakat Arab, kedatangan Islam merupakan transformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal. Dari segi historis, salah satu tugas dari Nabi Muhammad adalah melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya. Dan Allah Swt telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna, malalui pengajaran, pengenalan, serta dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya. (Azra, 1999 : vii).
Tema pendidikan ini secara implisit dapat dipahami dari wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi sebagai spirit terhadap tugas kependidikan yang pertama dan utama yang dilakukan Nabi.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahui.” (Al-‘Alaq : 1 – 5).
Bertolak dari spirit di atas, Nabi Muammad mulai melaksanakan tugas sebagai pendidik yang dimulai dari lingkungan keluarga dekatnya, kemudian melebar ke wilayah sosial yang lebih luas lagi. Mahmud Yunus, dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menuliskan bahwa pendidikan Islam pada fase ini meliputi empat hal :
Pertama, pendidikan kegamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah. Sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jaunya.
Kedua, pendidikan akaliyah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Sedangkan mereka dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan banyak membaca dan meyelidiki serta memakai pena untuk mencatat.
Ketiga, pendidikan akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad Saw Mengajar sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
Keempat, pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempa kediaman. (Zuhairini , 2000 : 18-50)
Oleh karena Alquran memuat sejumlah dasar umum pendidikan, maka Alquran sendiri pada prinsipnya dapat dikatakan sebagai pedoman normatif-teoritis dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Ayat-ayat yang tertuang dalam Alquran merupakan prinsip dasar yang kemudian diterjemahkan oleh para ahli menjadi suatu rumusan pendidikan Islam yang dapat mengantarkan pada tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Secara eksplisit, percakapan dalam Alquran tentang pendidikan sudah pasti melabar kepada pujian Alquran terhadap orang-orang beriman dan kepada ilmu-ilmu itu sendiri.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di atara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah : 11)
Pada kenyataanya, struktur dari peradaban Islam, dari semenjak perkembagan Islam paling awal secara keseluruhan berasal dari spirit Alquran di samping konsep-konsep ilmu yang ada dalam Alquran. Kemudian prinsip ini dijadikan sebagai Weltanschauung yang melatarbelakangi keberadaan manusia secara global dan diinspirasikan dari era bagaimana konsep ilmu itu didefinisikan. Lebih dari itu, konsep serupa ini memformulasikan model pikiran dan penelitian yang dilakukan oleh umat Islam dalam rangka melihat realitas mengembangkan masyaraka yang tentunya lewat usaha-usaha pendidikan. Konsep ilmu sendiri yang termuat dalam Alquran seperti dinyatakan Ziaudding Sadar adalah sebuah nilai yang menakala dipahami dengan baik dari bingkai Islam, akan melahirkan sesuatu mengenai konsep Islam itu sendiri. Tidak kurang dari 1200 definisi telah dibuat oleh para ahli dan menjadi tema utama para penulis besar, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Biruni dan Ibnu Khaldun.
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman. ‘Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 31).
Di sini dapat dipahami bahwa ayat di atas merupakan kunci ayat yang berkaitan dengan ilmu. Imam al-Gahazali menafsirkan bahwa nama-nama (asma) adalah sejumlah contoh, Ibnu Abbas sendiri menafsirkan bahwa Adam telah diajarkan semua nama yang baik maupun yang buruk.
Bagaimanapun ayat di atas juga dapat dipahami dengan pendekatan subjek dengan objeknya. Sebab “penyebutan nama” berkaitan dengan “nama yang disebut” sebagai objeknya. Di sinilah prinsip pendidikan juga berasal, sebab kata asma juga berarti sebagai bentuk ilmu yang dapat dipahami dengan jalan pengajaran (‘allama). Setidaknya, ayat di atas sudah memberikan jalan bagi umat manusia bagaimana ilmu itu dapat diperoleh.
Seperti halnya Alquran, Sunnah juga memberikan rambu-rambu tentang pentingnya pendidikan. Konsepsi dasar pendidikan yang dicetuskan Nabi Muhammad Saw menurut Muhaimin memiliki enam corak. Pertama, disampaikan sebagai “rahmat li al’alamin yang ruang lingkupnya tidak hanya sebatas manusia, tetapi juga makhluk biotik dan abiotik lainnya. Kedua, disampaikan secara universal, mencakup dimensi kehidupan apapun yang berguna untuk kegembiraan dan peringatan bagi umatnya. Ketiga, apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak dan keotentikan kebenaran itu terus terjadi. Kempat, kehadiran Nabi sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan terus bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan. Kelima, prilaku Nabi tercermin sebagai uswatun hasanah, yaitu sebuah figur yang meneladeni semua tindak-tanduknya karena prilakunya terkontrol oleh Allah, sehingga hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Keenam, masalah teknis-praktis dalam pelaksanaan pendidikan Islam diserahkan penuh pada umat.
Secara sederhana para ahli pendidikan Islam mencoba mengembangkan konsep-konsepnya dari kedua sumber ini, yaitu Alquran dan Sunnah sebagai dasar ideal pendidikan Islam. Dasar ideal ini kemudian yang menjadi akar pendidikan sebagai sumber nilai kebenaran dan kekuatan. Nilai-nilai yang dipahami dari Alquran dan Sunnah ini adalah cermin nilai yang universal yang dapat dioprasionalkan ke berbagai sisi kehidupan umat sekaligus sebagai standar nilai dalam mengevaluasi jalannya kegiatan pendidikan Islam. (Azra, 1999 : 7).
Juga dengan jelas dipahami bahwa ilmu sangat tinggi kedudukannya dalam Islam. Untuk mamahami ilmu, manusia dituntut menggunakan pikirannya, belajar dan memahaminya. Dalam pendidikan, ilmu adalah hal yang paling esensial. Pada intinya, pendidikan dalam Islam sangat utama dan penting bagi kehidupan manusia.
Dari kedua ajaran islam, Alquran dan Sunnah, banyak dikemukakan fenomena alam dan sosial yang masih belum terungkap dan menantang umat Islam untuk terus belajar agar mereka giat melakukan pengkajian dan dapat melahirkan ilmu-ilmu baru sebagai hasil dari penafsiran Alquran dan sunnah.
Islam mengajarkan alam dan relita. Umat Islam selalu mengamati realita tersebut, baik dengan menggunakan akal, kontemplasi maupun intuisi. Dengan adanya usaha ini dalam perkembangan intelektual Islam, lahirlah berbagai displin ilmu,seperti filsafat, kedokteran, kimia, astronomi dan fisika. (Muhaimin dan Mijib, 1993 :834).
Tepat kiranya bila Alquran dan Sunnah secara doktrinal menganggkat pentingnya pendidikan. Melalui pendidikan, manusia bisa belajar melihat relaitas alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukannya yang penting dan tinggi dalam doktrin Islam, seperti dapat dilihat dalam Alquran dan Sunnah yang banyak kaitannya dengan arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam sebagai hamba Allah.
Selain ayat-ayat dan Sunnah yang telah dijelaskan di atas, masih banyak bukti lain yang berasal dari sumber yang sama tentang arti pentingnya pendidikan bagi manusia. Seperti ayat-ayat Alquran yang memerintahkan manusia untuk mempergunakan akalnya. Dengan akal ini, manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya ataupun benda-benda yang ada di alam sekitar kita. Pada saat yang sama juga, Alquran ataupun Sunnah banyak menganjurkan umat Islam untuk senantiasa bergiat diri dalam mencari ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu juga menempati posisi penting dalam Islam. Unutk meraih ilmu ajakan untuk mempergunakan akal harus diraih. Ajakan untuk memepergunakan harus direalisasikan. Ilmu dan pendidikan dalam Islam sangat utama dan esensial dalam kehidupan manusia.
Seperti ditulis Hanun Asrohah, selain Alquran dan Sunnah yang secara jelas menyerukan umat Islam untuk belajar, ada empat aspek lain yang mendorong umat Islam untuk senantiasa belajar, sehingga pendidikan selalu menjadi perhatian umat Islam. “Aspek itu adalah bahwa Islam memiliki Alquran sebagai sumber kehendak Tuhan.” (Asrohah, 1999 : 7). Artinya, motovasi pendidikan secara doktrinal memang sudah menjadi bagian dari ajaran Islam, sehingga perjalanan umat Islam selalu berpedoman pada kedua sumber ini sebagai ajaran dan sebgai spirit kependidikan sekaligus.
Penting untuk dicatat, bahwa ajaran untuk mencari ilmu pengetahuan dalam semangat doktrin Islam tidak hanya dikhususkan pada ilmu agama saja dalam pengertian yang sempit. Labih dari itu, Islam menganjurkan umatnya menuntut ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup, meminjam istilah al-Ghazali, ilmu syar ‘iyyah dan ilmu ghairu syar ‘iyyah. (Abidin, 1998 : 44-45). Ilmu syar ‘iyya adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dileluti oleh setiap muslim. Di luar ilmu-ilmu ytang bersumber dari para nabi tersebut, al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategiri ghairu syar ‘iyyah. Lepas dari pengelompokan ilmu yang disebut al-Ghazali, ilmu apapun penting untuk dicapai selama tidak membawa kemadaratan bagi kehidupan manusia dan destruktif.
Karenanya, dalam Islam terdapat hubungan erat antara ilmu-ilmu syar ‘iyyah dengan ilmu-ilmu gharu syar ‘iyyah. Dan sebaliknya, Islam tidak mengenal adanya keterpisahan di antara ilmu-ilmu. Dengan kata lian, Islam menganjurkan agar umatnya mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, baik yang bersumber dari Alquran dan Sunnah maupun pada akal asalkan membawa manfaat bagi kehidupan manusia di dunia ini. adanya kategori syar ‘iyyah dan ghair syar ‘iyyah, seperti yan disebut al-Ghazali, tidak dimaksudkan sebagai keterpisahan, sebab bila dipahami secara dikotomi, maka dengan sendirinya akan mendistorsi makma Islam yang universal, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Filsafat Pendidikan Islam
Pembicaraan diseputar filsafat pendidikan Islam tidak terlapas dari pembicaraan mengenai filsafat dan pendidikan Islam itu sendiri. Filsafat berasal dari kata Yunani: filosofia. (Peodjawijatna, 1986 : 2). Dalam bahasa Yunani kata filosofia itu merupakan kata majemuk yang terdiri dari filo dan sofia. Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan kerena ingin itu lalu berusaha mencapai yang diingini itu, sedangkan Sofia artinya kebijaksanaan. (Peodjawijatna, 1986 : 2).
Dengan demikian, filsafat berarti ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. Bagi Plato, filsafat tidak lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. (Gazalba, 1990 : 16). Aristoteles beranggapan, bahwa keajaiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. (Gazalba, 1990 : 17). Sedangkan al-Kindi memberikan pengertian filsafat dengan membaginya ke dalam tiga lapangan ilmu. Pertama, ilmu fisika (‘ilm al-thibiyyat) merupakan tingkatan terendah. Kedua, ilmu matematika (‘ilm al-riyadhi), tingkatan tengah. Ketiga, ilmu ketuhanan (‘ilm al-rububiyah), tingkat tertinggi. Yang pertama menurut Sidi Gazalba adalah tingkatan alam nyata terdiri dari benda-benda konkrit yang dapat ditangkap pnca indra. Yang kedua, berhubungan dengan benda juga, tapi mempunyai wujud tersendiri yang dapat dipastikan dengan angka-angka. Dan ketiga, yang tidak berhubungan dengan benda-benda sama sekali, yaitu ketuhanan. (Gazalba, 1990 : 19-20).
Dengan tiga ciri utama berpikir, radikal, sistematis dan universal, (Peodjawijatna, 1986 : 27). Filsafat dimengerti sebagai sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berpikir secara radikal, sistematis, dan universal. Sebagai pelengkap pengertian dari filsafat, Hasbullah Bakry menuliskan bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal menusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan. (Anshari, 1991 : 85).
Sedangkan pendidikan Islam dipahami berangkat dari agama Islam itu sendiri. di samping sebagai agama, Islam juga memiliki pandangan-pandangan mengenai berbgai hal yang menyangkut persoalan manusia dan kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Untuk itu, pendidikan Islam adalah pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam. Ajaran Islam berarti merujuk pada Alquran dan Sunnah yang memang diakui memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah pendidikan.
… Alquran dan al-Kitab yang artinya bacaan dan tulisan. Nama-nama tersebut erat berhubugnan dengan Alquran. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan jika Salih Abdullah Salih sampai pada suatu kesimpulan bahwa Alquran adalah Kitab Pendidikan.
Demikian pula al-Hadits, sebagai sumber ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah pendidikan, Nabi Muhammad Saw telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long lofe education). (Nata, 2001 : 12)
Dari dua kerangka ini muncullah pengertian filsafat pendidikan Islam, yaitu konsep berpikir tentang pendidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. (Nata, 2001 : 13). Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, Mohammad al-Toumy menuliskan bahwa Islam dan kebudayaannya merupakan titik tolak asasi bagi filsafat pendidikan dan pengajaran diberbagai tingkatan dan jenisnya. Namun demikian, ini tidak menafikan sumber-sumber lain yang menganggap dapat membantu pengkayaan filsafat pendidikan Islam, baik yang bersifat individual, sosial atau tabi’i yang dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan filsafat pendidikan Islam.
Bagi Hasan Langgulung, filsafat pendidikan merupakan fase permulaan dalam proses pendidikan, juga menjadi tulang punggung ke mana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, penilaian, administrasi, alat-alat mengajar dan lainnya, yang harus bergantung pada filsafat pendidikan guna memberikan arah dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip pendidikan. (Langgulung, 2000 : 33).
Karenanya, filsafat pendidikan Islam mengandung konotasi pada filsafat pendidikan yang mengambil asasnya dari prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam. Jadi, filsafat pendidikan Islam berupaya menyusun seperangkat nilai sebagai dasar berpijak dan tujuan yang akan dicapai secara jelas.
Mengenai fungsi filsafat pendidikan, al-Syaibani menyebutkan sebagai berikut:
Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan. Di samping itu, dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan dan peningaktan tindakan dan keputusan termasuk rancangan-rancangan pendidikan mereka, begitu juga untuk memperbaiki rancangan-rancangan pendidikan kaedah dan cara mereka mengajar yang mencakup penilian, bimbingan, dan penyuluhan. (al-Syaibani, 1979 : 33-34).
Hampir senada dengan itu, Hasan Langgulung melihat bahwa fungsi-fungsi pokok filsafat pendidikan mencakup sembilan hal. Pertama, untuk memahami sistem pengajaran. Kedua, menganalisa konsep-konsep dan istilah-istilah. Ketiga, mengkritik asumsi-asumsi dan fakta-fakta. Keempat, membimbing asas-asas pendidikan. Kelima, menerima perubahan-perubahan dasar. Keenam, membimbing sikap guru-guru. Ketujuh, membangkitkan dialog dan persoalan. Kedelapan, menghilangkan pertentangan pendidikan. Dan kesembilan, mengusul renca-renaca baru. (Langgulung, 2000 : 9-16).
Kutipan-kutipan di atas memperlihatkan hubungan yang saling berkaitan antara pendidikan dengan filsafat pendidikan. Sebab terlihat dengan jelas, bahwa filsafat pendidikan Islam adalah pijakan dasar di mana pendidikan Islam itu berdiri tegak sekaligus sebagai pedoman bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan serta fondasi bagi tegaknya sistem pendidikan Islam. Jelasnya, filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Alquran dan Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khusunya para filosof muslim, sebagai sumber sekunder. Selain itu, filsafat pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yaitu berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan.
Melengkapi bahasan fislafat pendidikan, manarik kiranya bila al-Syaibani menuliskan sumber-sumber filsafat Islam untuk pendidikan. Baginya, sejumlah literatur yang membahas persoalan-persoalan flsafat pendidikan Islam selain menggali dari sumber-sumber Islam, ia juga tetap mengadopsi pendangan-pandangan Barat. (al-Syaibani, 1979 : 38). Sebagai contoh, manakala filsafat pendidikan menghadapai persoalan tabiat manusia, ia menyebutkan pendapat Plato, Alistoteles, Thomas Hubbes, Jinh Locke, JJ. Rousseau, John Dewey dan lainnya, tidak sedikit pun menyentuh pemikiran ahli pikir Arab, demikian menurut al-Syahibani. (al-Syaibani, 1979 : 39-40).
Pada intinya, ia menyimpulkan, bahwa Islam dan kebudayaan Islam adalah sebagai sumber dan titik tolak asasi bagi filsafat pendidikan Islam, namun tidak menafikan sumber-sumber yang lain baik yang bersifat individual, sosial, atau tabi’i yang dapat membantu dan menjadi rujukan dalam membangun filsafat pendidikan Islam.
Sementara itu, Zuhairini menyebutkan aliran-aliran yang ada dalam filsafat pendidikan secara garis besar dapat dicirikan ke dalam lima aliran besar. Pertama, aliran progressivisme. Kedua, aliran esensialisme. Ketiga, aliran perennialisme. (Zuhairini, 2000 : 20). Pembagian aliran filsafat pendidikan ini nampaknya didasari atas pandangan bahwa filsafat pendidikan tidak pernah berhenti di tempat dan kesimpulan yang dihasilkan pun tidak pernah final. Namun, menariknya adalah bahwa persoalan filsafat pendidikan selalu membahas persoalan-persoalan yang sama, hanya saja dibedakan oleh suatu bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada. Adapun filsafat pendidikan Islam menurut Zuhairini lagi, (Zuhairini, 2000 : 120). Tidak lebih dari penggunaan dan penerapan filsafat Islam dalam dunia kependidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam tidak lain adalah suatu sistem yang selalu berkaitan dengan induknya dan sejalan dengan sistem induknya, yaitu filsafat Islam.
Persolan penting lainnya, Jalaluddin dan Usman Said mengemukakan bahwa metode pokok dalam mempelajari filsafat pendidikan Islam pada garis besarnya ada dua, yaitu pendekatan terhadap wahyu dan pendekatan sejarah. (Jalaluddin dan Said, 1998 : 28). Kedua metode ini diangkat berdasarkan dua pertimbangan dasar. Pertama, Alquran sebagai wahyu berisikan ayat-ayat yang mendorong manusia agar menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Konsekuensinya adalah Alquran menganjurkan mansuia untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Ini dimaksudkan agar manusia percaya kepada Allah. Selain itu juga agar manusia memperoleh pemahaman tentang kebenaran yang dimaksud oleh Allah Swt sebagai Pencipta. (Jalaluddin dan Said, 1998 : 28).
Kedua, metode pendekatan sejarah, yang digunakan untuk mengkaji hasil pemikiran cendikiawan muslim di masa silam. Melalui pendekatan sejarah diharapkan dapat diketahui bagaimana konsep-konsep pendidikan Islam di masa lalu, perkembangan pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan, serta latar belakang yang mendorong lahirnya konsep-konsep tentang rencana pendidikan Islam. Kajian serupa ini dimaksudkan untuk mencari persamaan, perbedaan atau temua-temua dalam konsep-konsep yang dihasilkan oleh pemikir pendidikan tersebut, juga memahami konsep dari hasil karya para pemikir pendidikan Islam, serta dapat melanjutkan rangkaian pemikir Islam, serta dapat sambil melakukan revisi pada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. (Jalaluddin dan Said, 1998 : 33-34).
Dengan pendekatan wahyu dimaksudkan untuk medekati pemahaman mengenai kebenaran yang sesungguhnya dari sumber kebenaran itu sendiri (Khaliq) melalui tanda-tanda (ayat) yang diciptakannya. Dari sini dapat dilihat bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam, pendekatan terhadap wahyu akan dapat membantu pengembangan konsep-konsep pendidikan Islam (Zuhairini, 2000 : 29). Sementara pendekatan sejarah akan dengan mudah dikemukakannya pemikiran-pemikiran para pemikir muslim dan periode klasik hingga periode modern. Pemikir-pemikir tersebut tidak lain adalah konsep tentang tentang pendidikan Islam. Dengan pendekatan serupa ini diperkirakan akan membantu menemukan hasil pemikiran pendidikan yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam (Zuhairini, 2000 : 34). Di sinilah letak pentingnya metode pendekatan sejarah dalam kajian pendidikan Islam.
Menyinggung tetang objek pembahasan filsafat pendidikan Islam, Abuddin Nata menuliskan hampir semua persoalan pendidikan menjadi objek pembahasannya. Bagaimana semua masalah tersebut disusun, tentu saja harus ada pemikiran yang melatarbelakanginya. Pemikir yang melatarbelakanginya itu disebut dengan filsafat pendidikan Islam. Lebih jauh lagi Abuddin Nata menuliskan:
Dalam hubugan dengan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam ini, Muzayyin Arifin lebih lanjut mengatakan bahwa ruang lingkup pemikirannya bukanlah mengenai hal-hal yang bersifat teknis oprasional pendidikan, melainkan menyangkut segala hal yang mendasari serta yang mewarnai corak sistem pemikiran yang disebut filsafat itu. Dengan demikian, secara umum ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam ini adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis, menyeluruh, dan universal menganai konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran Islam. (Nata, 2001 : 16).
Dari penelusuran litelatur tentang filsafat pendidikan Islam, penulis dapat melihat betapa pentingnya peran filsafat pendidikan Islam. Filsfat pendidikan Islam cendrung bersifat organik, sistematik dan funsional dengan akar paradigma mengacu pada Alquran, al-Sunnah dan sejarah kebudayaan Islam. Realitas apapun yang muncul dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, tetap akan masuk dalam kerangka global maupun terperinci pada tiga sumber paradigma tersebut. Artinya, pemahaman tentang pendidikan Islam tidak bisa parsial dalam kaitannya dengan pendekatan wahyu. Sementara itu, pendekatan sejarah, mengajak pemikir muslim untuk melihat, merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi pendidikan Islam dalam kerangka keilmuan Islam dan sistem pendidikan Islam.
Menyinggugn soal paradigma, Mastuhu melihat bahwa dengan menggali kembali ajaran Islam, baik Alquran, Hadits, sejarah Islam maupun tulisan para ulama dan sarjana Muslim dari pelbagai disiplin ilmu, akan ditemukan paradigma baru pendidikan Islam. Paradigma pendidikan Islam yang dimaksud Mastuhu tidak lain adalah pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali iptek, sebagaimana zaman keemasan yang pernah dicapai Islam. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam dimulai dari konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap iptek, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh. Bagi Mastuhu, paradigma pendidikan Islam tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bibas dinilai, mengjarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan sisi rasional. (Mastuhu, 1999 : 15).
Hal menarik lainnya yang ditulis Mastuhu adalah tema pendidikan Islam yang integral-holistik, yaitu pendidikan Islam yang beroriensi kepada persoalan dunia dan ukhrawi. (Mastuhu, 1999 : 24). Gagasan ini menarik memang untuk diangkat kembali ke dalam pendidikan Islam, sebab dalam pengamatan Mastuhu banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cendrung mementingkan dimensi keakhiratan semata daripada keduniawian. Ini terjadi karena kehidupan ukhrawi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan dunia bersifat sementara, bukan kehidupan yang terakhir (Mastuhu, 1999 : 25).
Oleh karena adanya kecendrungan dikotomi ini, penulis melihat adanya sisi lain dari arti pentingnya filsafat pendidikan Islam. Sebab, masalah pendidikan Islam pada akhirnya juga berujung pada persoalan pendidikan yang tidak hanya sebatas pada murid dan guru, tapi juga menjadi masalah dakwah Islam dan pembangunan sistem kehidupan yang terbaik bagi umat, sebagai peradaban alternatif. Antitesis dari adanya dikotomi ini jelas ada pada prinsip tauhid yang integratif pada akhirnya dapat diaktakan bahwa pendidiakn Islam yang dikotomis tidak akan mendukung terwujudnya pranata kehidupan yang terbaik bagi umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. Kesemuanya itu tidak lain adalah bentuk pragmatis dari filsafat Islam yang banyak berperan bagaimana pendidikan Islam ideal itu dibentuk.
Kontribusi Pemikir Pendidikan Para tokoh Pemikir Muslim
Seperti telah disinggung, mengkaji pemikiran cendikiawan muslim dapat dilakukan melalui pendekatan sejarah. Ini dimaksudkan agar dapat diketahui begaimana konsep-konsep pendidikan Islam di zaman silam, perkembangan, pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan, serta latar belakang yang mendorong lahirnya konsep-konsep tentang rancangan pendidikan Islam.
Selain itu, mengadakan kajian-kajian terhadap pemikiran-pemikiran dimaksud akan diperoleh manfaat yang di antaranya. Pertama, bagaimana perkembangan pemikiran (filsafat) pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Kedua, memahami konsep dan hasil kerja para pemikir pendidikan Islam. Dan ketiga, dapat melanjutkan rangkaian pemikiran untuk kemudian melakukan telaah atas pemikiran mana yang masih releven dan mana pula yang perlu pada penyesuaian oleh karena adanya tuntutan zaman. (Jalaluddun dan Sain, 1998 : 32).
Pola-pola pendekatan sejarah serupa ini kerap ditemukan dalam menelusuri literatur baik mengenai filsafat pendidikan Islam maupun sejarah pendidikan Islam. Di sini ada satu kenyataan yang sulit untuk dibantah bahwa pemikir pendidikan Islam dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme. Pengaruh Hellenisme ini tidak hanya sebatas pada perkenalan umat Islam dengan pemikir Yunani dan mempelajarinya, tetapi juga mendorong semangat kehidupan intelektual Islam. (Asrohah, 1999 : 43). Setelah menguasai karya-karya Hellenisme, para ilmuan muslim mulai melakukan pengamatan, penelitian dan pengkajian lebih jauh hingga mereka berhasil menemukan teori-teori baru di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang belum ada pada masa sebelumnya.
Pemikiran Hellenisme yang mereka transmisikan dalam karya-karya pemikir Islam tidak hanya dalam bentun terjemahan-terjemahan saja, tetapi juga tidak sedikit yang berasal dari pemikir umat Islam sendiri yang orisinil. Wacana intelektual yang berasal dari kontak dengan Hellenisme tidak terbatas hanya pada kemunculan ilmu pengetahuan dan filsafat Islam, tetapi juga pemikiran-pemikiran keagamaan, seperti teologi, tafsir, bahasa, hukum Islam dan juga kependidikan tentunya. Pada masa ini juga sejarah mencatanya sebagai zaman kemajuan peradaban Islam. Masa ini, menurut Harun Nasution mempunyai kontribusi peradaban modern di Barat. (Asrohah, 1999 : 45).
Pada intinya, pendekatan sejarah serupa ini adalah salah saru upaya melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan para ahli. Mereka telah menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap pendidikan sesuai dengan zaman dan tantangan yang dihadapi. Zaman dan tantangan yang dihadapi masa sekarang berbeda dengan yang dihadapi mereka. Karenanya, pembicaraan masalah kependidikan ini mempunyai peran strategis bila memang pendidikan Islam ingin turut bersaing dengan percaturan global.
Para pemikir muslim, baik pada periode klasik, seperti ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, al-Farabi dan Ibnu Khaldun, pada zaman modern semisal al-Tahthawi, Muhammad Abduh, Islamil Raji al-Faruqi, banyak menulis pemikir-pemikiran yang ada kaintannya dengan pendidikan Islam. Namun demikian, oleh karena keterbatasan kemampuan dan literatur, penulis tidak bermaksud untuk membahas keseluruhan pemikiran bersama dengan nama-nama para tokoh di atas. Dengan tanpa mengurangi nilai kontribusi mereka di bidang pendidikan, penulis hanya menuliskan beberapa nama tokoh dengan pemikirannya baik yang termasuk pada zaman klasik maupun yang modern. Dari dua era yang berbeda ini penulis kira dapat melihat trend pemikiran pendidikan yang pernah dituangkan oleh para pemikir muslim dari zman ke zaman.
Mewakili zaman klasik, al-Ghazali cukup representatif, sebab bila kita menyempatkan diri untuk menelaah karya-karyannya, terutama karya terbesarnya Ilya Ulumiddin, tampak bahwa al-Ghazali di samping ahli teologi, filsafat, tasauf, beliah juga ahli dalam bidang pendidikan. Sementara itu, nama al-Ghazali cendrung lekat dengan pandangan sebagai seorang sufi ketimbang pendidik, terutama pengaruh dari meluasnya tulisan-tulisan yang mendiskusikan perbedaannya di seputar Filsafat Islam dengan Ibn Rusyh. (Leamen, 1989 : 33). Sementara di bidang pendidikan dalam pandangan al-Ghazali masih jarang sekali dibahas orang.
Dalam pandangan al-Ghazali ilmu adalah rengking pertama dalam ibadah. Di samping itu, terkesan kuat bahwa manusia, menurut al-Ghazali dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya. Kesan itu labih diperkuat lagi dengan menjadikan tema ilmu dan pendidikan sebagai bahasan pertama dalam karya monumentalnya, Ilya Ulumiddin.
Tujuan dari mencari ilmu menurut al-Ghazali tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dan salah satu dari metode penyampaian ilmu adalah pengajaran. Pendidikan merupakan satu-satunya keutamaan, menyangkut harkat dan martabat manusia dan menanamkan nilai kemanusiaan. Di sini seakan al-Ghazali menyatakan bahwa kemajuan suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada sejauh mana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Dari sisi yang berbeda, nampaknya al-Ghazali sudah membuat pilihan bahwa konsep ilmu dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang sudah berakar dalam Alquran dan Sunnah. Sistem nilai yang dimaksud tidak lain adalah tauhid, ibadah, syari’ah dan khalifah. Nilai tauhid berarti ilmu harus mencerminkan tauhid yang esensinya adalah mengesakan Allah, berpihak kepada kebenaran, setia pada sumber-sumber pengetahuan dan benenaran serta menegaskan tujuan akhir dari keseluruhan aktivitas manusia. Nilai ibadah berarti ilmu harus mendukung umat mansuia dalam menempatkan semua aktivitasnya sebagai ibadah kepada Allah. Artinya, ilmu harus memberikan motovasi agar manusia semakin mendekatkan (taqarruh) kepada Allah dan bukan sebaliknya, menjauhkan menusia dari Allah.
Dalam Islam berlaku rumusan, semakin seseorang berilmu, semakin bertakwa kepada Allah. Nilai syari’ah memotivasi bahwa ilmu harus melahirkan prilaku yang dihalalkan dan bukan prilaku yang diharamkan Allah. Dan terakhir, nilai khalifah yang menjadikan ilmu harus mencerminkan sistem dan metode mewujudkan tugas khalifah umat manusia sebagai amanah Allah yang wajib ditunaikan guna mewujudkan Islam sebagai rahmata li al’alamin.
Dengan demikian, hakikat ilmu dalam Islam adalah pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia sebagai khalifahNya dalam bentuk ayat-ayat qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah untuk dikembangkan secara rinci demi kepentingan menuaikan tugas khalifah. Karenanya, semua displin ilmu yang dikembangkan dalam Islam mesti sehaluan dengan parameter tauhid, yaitu menuju kesatuan pengetahuan, kebenaran, dan kemanfaatan. Dan pada akhirnya ilmu harus membimbing manusia akan kesadaran, bahwa pemilik ilmu adalah Allah, dan manusia menjalankan tugas untuk mengembangkan kepantingan tugas hakikinya.
Mengenai tujuan pendidiakn dalam pandangan al-Ghazali, menurut Abidin Ibnu Rusn ada dua tujuan, yaitu tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan pendidikan jangka panjang adalah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengerahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan pencipta alam. Tujuan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (Abidin, 1998 : 56-58).
Lebih jauh lagi, manarik kiranya bila kita kutip rumusan dari tujuan pendidikan menurut al-Ghazali seperti yang ditulis Abidin:
… tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah sebagai berikut.
1. Dekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2. Menggali dan mengambangkan potensi atau fitrah manusia.
3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi. (Abidin, 1998 : 60-61).
Hampir senada dengan itu, Ibnu Khaldun, seperti yang ditulis Abidin Nata, melihat bahwa dalam roses pendidikan (belajar) atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia di samping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Dan berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran. (Nata, 2001 : 175).
Secara konsepsional sepertinya ada pandangan yang seragam antara al-Ghazali dengan Ibnu Khaldun. Keragaman ini pada kata pendidikan yang menjadi alat bagi tercapainya suatu tujuan, yaitu mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan jangkan panjang dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia sebagai tujuan jangka pendeknya. Sedangkan pendidikan itu sendiri pada prosesnya juga memelukan alat, yaitu pengajaran atayu ta’lim. Ini juga tampaknya yang menjadi pandangan konsepsional dari para pemikir muslim terutama tentang tujuan dari ilmu yang tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah. Ini bukan suatu kebetulan, sebab siapa pun pemikirnya, bila ia seorang muslim, ia dapat dipastikan akan meruduk pada sumber-sumber pendidikan yang sama.
Dalam bahasa lain, keseragaman di antara para pemikir muslim terletak pada landasan epistemologis yang memberikan konsepsi bahwa pencapaian dan pengembangan ilmu dilakukan dengan menggunakan alat pemberian Tuhan berupa panca indra, akal, dan hati. Hasil penggunaan alat itu dalam bentuk rincian ilmu dimaksudkan supaya manusia bersyukur kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menginggalkan larangannya.
Kesamaan lainnya mungkin terlatak pada prinsip belajar seumur hidup dan kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim dan muslimah. Dari pola ini, seperti yang ditulis Abidin Nata, Islam telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah ini sangat strategis dalam upaya menyangkut martabat kehidupan manusia. “Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang mengembangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan sterusnya.” (Nata, 1998 : 12).
Mewakili zaman modern, Isma’il Raji al-Faruqi, mengatakan bahwa seluruh pengetahuan mengenai individu, kelompok manusia, alam, agama ataukah sains, harus kita susun kembali berdasar prinsip tauhid, yaitu Allah Swt ada dan Esa, dan bahwa Dia adalah Pencipta, Penguasa, Pelindung, Pemberi rizki, akhir, tujuan dan sebab metafisis segala sesuatunya. Seluruh pengetahuan objektif mengenai dunia berarti pengetahuan tentang kehendak, pengaturan dan kebijakan-Nya. Semua keinginan dan ikhtiar manusia adalah karena restu dan perkenan-Nya. Manusia, demikian al-Faruqi, harus mematuhi perintah, memenuhi tujuan agama-Nya, jika manussia ingin mengenyam kenikmatan dan kebahagiaan. (al-Faruqi, 2000 : 115-116).
Kerangka dasar dari pemikiran al-Faruqi di atas tidak lain dari usaha mendefinisikan kembali prinsip ilmu dalam Islam. Kerangka ini pula yang memberikan pemahaman kepada kita bahwa tauhid merupakan bagian utama yang harus ditanam dan ditumbuhkan secara utuh dalam diri manusia, sebab dalam konsep ketahuidan inilah kita memulai perumusan hakikat dan tujuan umat Islam.
Kondisi kontekstual yang dihadapi al-Faruqi, sekilas terlihat bahwa ada segolongan dari umat Islam yang berpandangan dikotomis dalam bentuk membedakan dan memisahkan ilmu agama dan ilmu umum juga antara agama dengan kehidupan sosial dan budaya. Kondisi kontekstual ini dapat juga dilihat dari catatan al-Faruqi berikut.
Secara sangat ulung, sains yang mempelajari manusia beserta relasinya dengan sesama harus mengetahui bahwa manusia berada dalam penguasaan Allah Swt. Secara metafisis dan aksiologis. Sains ini mencakup sejarah manusia-bidang yang membeberkan tingkat-tingkat tertinggi tujuan agama. Sebenarnya, sains ini harus berkenan dengan Khalifatullah di muka bumi, dengan kekhalifahan manusia. Dan karena kekhalifahan berdimensi sosial, maka sains yang mempelajari manusia kehendaknya selayaknya disebut sains, maka sains yang mempelajari manusia hendaknya selayaknya disebut sains semantik, pengetahuan Islam menolak pencabangan dua (the befurcation), sains sosial/kemanusiaan… Jika, dalam Asosiasi Ilmuan Sosial Muslim Amerika dan Canada, kita terus-menerus menganggapnya bersifat sosial, yang berarti menentang pendirian Barat yang berisi keras memisahkannya dari kemanusiaan… (al-Faruqi, 2000 : 116).
Dalam bahasa lain, seakan al-Faruqi mengatakan bahwa masalah dikotomi pendidikan Islam berangkat dari kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid. Kegagalan ini tentunya melahirkan syirik yang berakibat adanya dikotomi pemikiran Islam, dikotomi pemikiran Islam melahirkan adanya dikotomi keilmuan dan kurikulum. Dikotomi keilmuan dan kurikulum mengakibatkan terjalinnya dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikan. Dikotomi keilmuan dan kurikulum mengakibatkan terjadinya dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikan. Dikotomi proses tujuan pendidikan pada akhirnya menyebabkan dikotomi alumni pendidikan yang berkepribadian ganda yang justru melahirkan dan kemudian memperkokoh sistem kehidupan umat yang rasionalistis, sekularistis, dan metealistis. Kerangka seperti ini pada intinya muncul oleh karena gagalnya mendefinisikan tauhid dalam dunia pendidikan.
Al-Faruqi juga sampai pada hakikat ilmu yang sebenarnya tidak netral. Justru di Baratlah yang berkembang keyakinan bahwa ilmu itu netral seperti dikritiknya dalam tulisan berikut:
Barat mengkalim kalau sains-sains sosialnya ilmiah karena bersifat netral; bahwa mereka menolak pertimbangan dan preferensi; memperlakukan tokoh fakta sebagai fakta dan membiarkannya untuk berbicara sendiri. Klaim ini kita anggap omong kosong. Karena tidak ada persepsi teoritis terhadap suatu fakta tanpa persepsi menganai realisasi dan sifat aksiologisnya… (al-Faruqi, 2000 : 117).
Penolakan al-Faruqi terhadap netralitas ilmu memang berdasar. Sebab, kenyataan yang sulit dibantah adalah bahwa ilmu pengetahuan itu lahir dan dikembangkan dalam konteks nilai, paradigma dan peradaban tertentu. Kenyataan historis membuktikan, ilmu pegetahuan Barat yang ada sekarang secara historis memperoleh tangga dari para ilmuan muslim, meskipun dewasa ini menyatanya seolah memiliki karekteristik peradaban Barat. Karekteristik ini nampaknya turut mewarnai dinamika keilmuan umat islam di zaman kontemporer yang terlihat dari sebagai publikasi yang pernah ada pada tiga dekade terakhir.
Bagi al-Faruqi islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebagai jalan keluar, yang berupaya menunjukkan relasi antara realitas yang dipelajari dengan segi atau bagian pola ketuhanan pada relitas ini. “Karena pola Ketuhanan merupakan norma realitras yang harus mewujud, maka kita tak pernah bisa melupakan analisa menganai pola ini,” (al-Faruqi, 2000 : 118). Singkatnya, ia mencoba membuka mata dan hati kita untuk mendefinisikan epistemologi Islam di tengah-tengah maraknya epistemologi Barat yang satu sama lain berbeda dalam cara memandang ilmu pengetahuan.
Sampai di sini penulis melihat, dari semenjak al-Ghazali yang mewakili pimikir di zaman klasik hingga al-Faruqi yang mewakili zaman modern, konsep dasar di seputar pendidikan Islam masih tetap konsisten pada tema kesadaran ketuhanan. Mendekatkan diri (taqarruh) kepada Allah adalah tema sentral dari al-Ghazali dan paradigma tauhid redefinisinya al-Faruqi yang keduanya bertitik tolak dari rumusan yang sama sekaligus sebagai sumber dalam pendidikan Islam. Bedanya, besar kemungkinan hanya terletak pada sosial budaya yang mereka hadapi. Apa yang dihadapi al-Ghazali ini adalah kenyetaan-kenyataan internal yang dihadapi umat Islam pada zamanya yang memerlukan rumusan bagaimana sebenarnya rumusan ilmu pendidikan. Berbeda dengan al-Faruqi yang tidak hanya concern pada kendala internal umat Isalm semata, tetapi juga berhadapan denga tradisi keilmuan barat yang menganggap ilmu sebagai netral dan dalam beberapa hal justru bertolak belakang dengan prinsip tauhid yang menjadi paradigma ilmu dan pendidikan dalam Islam.
Suatu Analisis Tentang Konsep Pendidikan Islam
Oleh : Nurhadi (STAIL 06)
Previous Post Next Post