Bagi wanita Indonesia, apalagi muslimah, hendaknya memprioritaskan pendidikannya bagi anak-anaknya sendiri lebih dahulu sebelum berpikir melakukan amal-amal di luar rumah, betapapun hebatnya ia ditunggu di luar sana. Setidaknya lima tahun pertama!
Ada pepatah di dunia Barat: Behind every great man there’s even a greater woman. Di belakang setiap Pria Hebat, ada seorang wanita yang lebih hebat lagi yang mendorongnya dari belakang.
Sepanjang sejarah Islam bertaburan tokoh wanita mulia yang telah mengukir sejarah dengan amal mereka. Sebutlah sosok ibu susu Nabi SAW, Halimah Sa’diyah, sejumlah istri Nabi SAW, sahabiyat Khansa dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh unik yang jarang diangkat kecuali beberapa saja. Mujahidahpun ada.
Bagaimana dengan masa kini?
Era kita sekarang adalah era peradaban Barat dengan segala budaya dan faham sekuler materialismenya. Dalam era ini, nilai-nilai keluarga telah berubah, apa yang dianggap berharga di masa lalu kini tak lagi dianggap penting. Cara pandang atas suatu masalah-pun sudah berubah.
Bagi sebagian komunitas pendidikan merupakan barang mahal.
Di sini ini acara bagi-bagi sembako merupakan acara rebutan. Beberapa partai politik-pun mengedepankan program “sembako murah” sebagai tema kampanye mereka.
Kaum ibu pasti yang nomer satu setuju dengan tema kampanye seperti ini sebab merekalah yang paling sering berurusan dengan kesulitan belanja dapur.
Makan-makan-makan. Itu seolah lebih penting daripada mengusahakan pendidikan bagi anak-anak. Lebih jauh lagi di negeri ini kaum perempuan bahkan masih dinomerduakan dalam mendapatkan akses pendidikan.
Ironis. Di atas sana, kaum elit politik sudah berteriak-teriak mematok kuota 30 % caleg perempuan sebagai salah satu syarat verifikasi partai.
Apakah memang negeri ini sudah siap dengan keterlibatan perempuan yang sebesar itu di kancah politik? Nyatanya memang kuota tersebut kini sudah dipenuhi oleh para peserta Pemilu 2009. Apakah kiat ini akan berhasil? Apakah kelak parlemen yang akan datang benar-benar akan diisi oleh 30% aleg perempuan? Apakah kemudian mereka yang sudah di sana akan mampu mengangkat harkat wanita Indonesia yang mayoritas muslimah ke tingkat yang lebih baik? Belum tahu lagi, just wait and see.
Namun mungkin ada pertanyaan lain yang boleh diajukan: Apakah keterlibatan wanita di masyarakat lebih penting daripada baktinya di rumahtangga?
Pernahkah ada yang meneliti seberapa besarnya kerugian bangsa ini sejak wanita Indonesia semakin banyak yang bekerja di luar rumah seperti sekarang?
Tanyakanlah ke pada para ahli pendidikan anak, misalnya Psikolog Anak, atau ahli Paedagogi dan Pendidikan Anak Usia Dini. Bahkan tanyakan pada Guru TK.
Semua sepakat bahwa ada “golden years” (tahun emas) dalam pendidikan anak yang tak akan kembali, yaitu lima tahun pertama!
Bagaimana jika wanita yang cerdas dan berpendidikan digesa untuk mengejar amal sosial sementara anak-anaknya di rumah harus diserahkannya kepada wanita-wanita lain yang pendidikannya lebih rendah dari dirinya (yaitu pengasuh) yang juga meninggalkan anak-anak mereka di kampung untuk dididik oleh entah siapa? Siklus kekosongan pendidik utama dari kampung hingga ke kota. Tambah ironis lagi, baik di desa maupun di kota ada saja kasus balita rawan pangan dan menderita gizi buruk.
Saat ini, di desa anak peremuan masih di diskriminasi dibanding saudara laki-laki mereka dalam akses pendidikan, bahkan di desa, pendidikan masih minim dan memprihatinkan. Sementara di kota, anak peremuan di anjurkan untuk bersaing dengan saudara laki-laki mereka tanpa pendidikan tentang gender secara benar!
Aneh jika kita bicara gender (jinsiyah/ berhubungan dengan jenis kelamin seseorang), maka seolah itu berarti kita harus menganjurkan wanita SETARA secara all out dengan laki-laki. Padahal dalam konsepsi Islam tentang wanita khususnya ibu, seorang ibu lebih dahulu dihargai TIGA kali dari pada bapak. Betapapun bapak yang memberi makan dan membiayai pendidikan formalnya.
Kapankah para pemimpin bangsa ini sadar tentang mana yang prioritas?
Masalah pendidikan bukan semata masalah ketersediaan anggaran pendidikan sampai 20% atau harus lebih. Bukan pula semata masalah ketersediaan jumlah guru yang memadai. Untuk apa jumlah guru cukup namun wawasan pendidikan mereka masih akan mengulangi format pendidikan yang sudah usang dan tak menjawab tantangan zaman. Bukan juga semata soal kelangkaan fasilitas pendidikan formal sejak gedung sekolah yang rusak hingga buku paket yang mahal. Bukan SEMATA soal materi.
Masalah-masalah itu memang berpengaruh untuk kelancaran proses belajar mengajar, namun untuk bangsa ini, masalahnya lebih dalam dari itu.
Wanita harus berkarya, namun jika Allah SWT Memberikan padanya amanah anak, maka sudah jelas amal pertama dan utama baginya di lima tahun awal kehidupan anak-anaknya adalah bersama mereka. Boleh punya asisten dalam rumahtangga, namun sebagai pendidik utama sang ibulah yang harus hadir pada saat –saat emas dalam kehidupan anak dan mengukir kepribadian mereka. Itulah yang seharusnya prioritas bagi wanita Indonesia.
Bagi wanita desa, sebaiknya justru diberi pendidikan dan ketrampilan praktis mendidik anak, bukan untuk bekerja sebagai pengasuh di kota, namun sebagai pendidik anak mereka sendiri lebih dahulu. Bagi wanita Indonesia, apalagi muslimah, hendaknya memprioritaskan pendidikannya bagi anak-anaknya sendiri lebih dahulu sebelum berpikir melakukan amal-amal di luar rumah, betapapun hebatnya ia ditunggu di luar sana. Setidaknya lima tahun pertama!
Kapankah para pemimpin negeri ini sadar bahwa membangun Indonesia harus diawali dengan mendidik kaum ibu sebaik-baiknya, agar mereka dapat berada di tempat yang tepat dengan skill dan wawasan yang benar? Wallahua’lam. eramuslim
Ada pepatah di dunia Barat: Behind every great man there’s even a greater woman. Di belakang setiap Pria Hebat, ada seorang wanita yang lebih hebat lagi yang mendorongnya dari belakang.
Sepanjang sejarah Islam bertaburan tokoh wanita mulia yang telah mengukir sejarah dengan amal mereka. Sebutlah sosok ibu susu Nabi SAW, Halimah Sa’diyah, sejumlah istri Nabi SAW, sahabiyat Khansa dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh unik yang jarang diangkat kecuali beberapa saja. Mujahidahpun ada.
Bagaimana dengan masa kini?
Era kita sekarang adalah era peradaban Barat dengan segala budaya dan faham sekuler materialismenya. Dalam era ini, nilai-nilai keluarga telah berubah, apa yang dianggap berharga di masa lalu kini tak lagi dianggap penting. Cara pandang atas suatu masalah-pun sudah berubah.
Bagi sebagian komunitas pendidikan merupakan barang mahal.
Di sini ini acara bagi-bagi sembako merupakan acara rebutan. Beberapa partai politik-pun mengedepankan program “sembako murah” sebagai tema kampanye mereka.
Kaum ibu pasti yang nomer satu setuju dengan tema kampanye seperti ini sebab merekalah yang paling sering berurusan dengan kesulitan belanja dapur.
Makan-makan-makan. Itu seolah lebih penting daripada mengusahakan pendidikan bagi anak-anak. Lebih jauh lagi di negeri ini kaum perempuan bahkan masih dinomerduakan dalam mendapatkan akses pendidikan.
Ironis. Di atas sana, kaum elit politik sudah berteriak-teriak mematok kuota 30 % caleg perempuan sebagai salah satu syarat verifikasi partai.
Apakah memang negeri ini sudah siap dengan keterlibatan perempuan yang sebesar itu di kancah politik? Nyatanya memang kuota tersebut kini sudah dipenuhi oleh para peserta Pemilu 2009. Apakah kiat ini akan berhasil? Apakah kelak parlemen yang akan datang benar-benar akan diisi oleh 30% aleg perempuan? Apakah kemudian mereka yang sudah di sana akan mampu mengangkat harkat wanita Indonesia yang mayoritas muslimah ke tingkat yang lebih baik? Belum tahu lagi, just wait and see.
Namun mungkin ada pertanyaan lain yang boleh diajukan: Apakah keterlibatan wanita di masyarakat lebih penting daripada baktinya di rumahtangga?
Pernahkah ada yang meneliti seberapa besarnya kerugian bangsa ini sejak wanita Indonesia semakin banyak yang bekerja di luar rumah seperti sekarang?
Tanyakanlah ke pada para ahli pendidikan anak, misalnya Psikolog Anak, atau ahli Paedagogi dan Pendidikan Anak Usia Dini. Bahkan tanyakan pada Guru TK.
Semua sepakat bahwa ada “golden years” (tahun emas) dalam pendidikan anak yang tak akan kembali, yaitu lima tahun pertama!
Bagaimana jika wanita yang cerdas dan berpendidikan digesa untuk mengejar amal sosial sementara anak-anaknya di rumah harus diserahkannya kepada wanita-wanita lain yang pendidikannya lebih rendah dari dirinya (yaitu pengasuh) yang juga meninggalkan anak-anak mereka di kampung untuk dididik oleh entah siapa? Siklus kekosongan pendidik utama dari kampung hingga ke kota. Tambah ironis lagi, baik di desa maupun di kota ada saja kasus balita rawan pangan dan menderita gizi buruk.
Saat ini, di desa anak peremuan masih di diskriminasi dibanding saudara laki-laki mereka dalam akses pendidikan, bahkan di desa, pendidikan masih minim dan memprihatinkan. Sementara di kota, anak peremuan di anjurkan untuk bersaing dengan saudara laki-laki mereka tanpa pendidikan tentang gender secara benar!
Aneh jika kita bicara gender (jinsiyah/ berhubungan dengan jenis kelamin seseorang), maka seolah itu berarti kita harus menganjurkan wanita SETARA secara all out dengan laki-laki. Padahal dalam konsepsi Islam tentang wanita khususnya ibu, seorang ibu lebih dahulu dihargai TIGA kali dari pada bapak. Betapapun bapak yang memberi makan dan membiayai pendidikan formalnya.
Kapankah para pemimpin bangsa ini sadar tentang mana yang prioritas?
Masalah pendidikan bukan semata masalah ketersediaan anggaran pendidikan sampai 20% atau harus lebih. Bukan pula semata masalah ketersediaan jumlah guru yang memadai. Untuk apa jumlah guru cukup namun wawasan pendidikan mereka masih akan mengulangi format pendidikan yang sudah usang dan tak menjawab tantangan zaman. Bukan juga semata soal kelangkaan fasilitas pendidikan formal sejak gedung sekolah yang rusak hingga buku paket yang mahal. Bukan SEMATA soal materi.
Masalah-masalah itu memang berpengaruh untuk kelancaran proses belajar mengajar, namun untuk bangsa ini, masalahnya lebih dalam dari itu.
Wanita harus berkarya, namun jika Allah SWT Memberikan padanya amanah anak, maka sudah jelas amal pertama dan utama baginya di lima tahun awal kehidupan anak-anaknya adalah bersama mereka. Boleh punya asisten dalam rumahtangga, namun sebagai pendidik utama sang ibulah yang harus hadir pada saat –saat emas dalam kehidupan anak dan mengukir kepribadian mereka. Itulah yang seharusnya prioritas bagi wanita Indonesia.
Bagi wanita desa, sebaiknya justru diberi pendidikan dan ketrampilan praktis mendidik anak, bukan untuk bekerja sebagai pengasuh di kota, namun sebagai pendidik anak mereka sendiri lebih dahulu. Bagi wanita Indonesia, apalagi muslimah, hendaknya memprioritaskan pendidikannya bagi anak-anaknya sendiri lebih dahulu sebelum berpikir melakukan amal-amal di luar rumah, betapapun hebatnya ia ditunggu di luar sana. Setidaknya lima tahun pertama!
Kapankah para pemimpin negeri ini sadar bahwa membangun Indonesia harus diawali dengan mendidik kaum ibu sebaik-baiknya, agar mereka dapat berada di tempat yang tepat dengan skill dan wawasan yang benar? Wallahua’lam. eramuslim