Jujur, semua orang tidak suka dengan teror apalagi hidup dalam
kubangan teror. Kita bisa tanya kepada penduduk sipil Afghanistan, Iraq
atau bahkan hari ini mereka yang berada di Suriah. Masyarakat sipil
berhadapan dengan “state terrorism” dari rezim Bashar Assad ditambah teror oleh koalasi negara-negara Barat dengan mengirimkan pasukan, senjata dan drone-drone mereka.
Kalau mau obyektif kalkulasi akibat state terrorism ini jauh lebih besar korban nyawa dan material dari apa yang terjadi di Paris hari ini. Dan masyarakat sipil Barat khsususnya Paris Prancis kini merasakan bahwa apapun bentuk teror dan terorisme itu kontra dengan kecondongan fitrah manusia.
Dan jika mau obyektif, semua tidak bisa terima terorisme baik yang dilakukan individu, kelompok maupun negara apalagi gabungan negara-negara atas nama apapun.
Peristiwa serangan Paris bukanlah peristiwa independen namun sebelumnya ada stimulan dan fariabel pelengkapnya.
Terorisme masih konstan sebagai fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS) dan sekutunya, imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
Selain itu adalah adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Klaim dari pihak IS-ISIS atas serangan di Paris, jelas bagi dunia Barat dengan mudah bisa menghakimi sebagai aksi terorisme produk dari kelompok Islam. Tapi penting kiranya bagi kita secara kritis menghadirkan pisau analisis framework rasional untuk mengeja tragedi Paris.
Metodologi ini mengkaji korelasi antara kasus terorisme dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi diantara keduanya.Dalam framework ini pelaku dan sasaran diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis.
Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.
Dalam framework rasional berasumsi kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan “teror”. Frame ini mengharuskan evaluasi terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak; pelaku dan sasaran. Sebagai catatan, resiko logis penggunaan metodologi ini akan di anggap analisis yang obyektif dan rasional atau dianggap sebagai simpatisan tindakan terorisme karena manganalisa secara kritis sasaran terorisme, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.
Penggunaan framework rasional dinilai urgent karena mampu menjawab dua hal penting; kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya terorisme.
Belajar paska penyerangan WTC di AS yang disusul dengan kampanye Global War on Terrorism, mereka fokus menuduh the evil ediology sebagai penyebab terorisme namun abai pada faktor penyebab lain. Akhirnya solusi yang digelar justru malahirkan spiral kekerasan yang tidak berujung. “Teroris” dengan aksi terornya konfrontatif dengan teror oleh kekuatan negara (state terrorism).
Hari ini kita juga menyaksikan konflik di kawasan Timur Tengah tidak bisa di katakan steril dari campur tangan dunia Barat. Bahkan mereka melanjutkan deklarasi Global War on Terrorism dengan memobilisasi kekuatan koalisi negara-negara Barat konfrontasi langsung di Aghanistan, Iraq dan terkini adalah Suriah.
Tindakan koalisi ini disambut dengan perlawanan dari berbagai komponen di Suria yang memiliki beragam ideologi maupun kekuatan. Mengikuti framework rasional secara konsisten kita bisa ambil kesimpulan kenapa Paris-Prancis jadi sasaran target dari kelompok IS-ISIS?
Pilihan Prancis terlibat dalam konflik Suriah bersama negara koalisi adalah jawabannya. Disamping Prancis menjadi negara terbuka yang mengaminkan peluang munculnya tindakan yang melahirkan ketersinggungan yang amat sangat terkait dimensi keyakinan.
Dari sini kita melihat benang merah bahwa kasus Paris adalah analog kecil dari peristiwa runtuhnya WCT. Peristiwa WTC bisa di anggap sebagai artikulasi penting dari akumulasi perlawanan sporadis oleh kelompok Islam terhadap imperialisme Barat dan AS menjadi representasi utamanya.
Begitu juga aksi Paris, bisa di anggap sebagai representasi perlawanan di kandang musuh atas pilihannya terlibat konflik berdarah di Suriah. Dan yang terjadi tidak bisa di negasikan korelasinya dengan konteks perang dan bukan semata-mata terorisme.
Meski disisi lain, target besar di balik serangan sangat mungkin bukan sekedar “dendam” atau perlawanan atas Prancis, tapi menebar serangan secara meluas untuk semua negara Barat yang tangan mereka dianggap berdarah-darah di bumi Suriah. Sekaligus sebagai sinyal jawaban atas apa yang terjadi di Suriah dan sekitarnya, berikut memancing semua negara-negara Barat masuk terseret jauh dalam kubangan konflik Suriah khususnya.
Bagaimana Indonesia harusnya bersikap atas peristiwa teror di Paris kali ini? Apakah teror susulan akan muncul di tempat yang berbeda?
Bagaimana potensi serangan tersebut terjadi di Indonesia? Jika cermat melihat pola dan spirit dibalik aksi ini maka aksi susulan sangat berpeluang terjadi khususnya konsisten diarahkan ke negara-negara yang dianggap terlibat dan tangan mereka berdarah-darah di konflik Suriah khususnya.
Respon pemerintah Indonesia harus proporsional, khususnya instansi terkait tidak perlu berlebihan yang justru terkesan bisa menjadi sumber kepanikan baru di Indonesia.
Serangan di Paris rasionalnya adalah negara tetangga seperti Inggris atau negara koalisi yang terlibat perang di Suriah yang perlu siaga untuk antisipasi kemungkinan serangan aksi susulan. Tereksposnya kasus di Paris secara global resikon
ya melahirkan beragam sikap dan akibat, ini tergantung sudut pandang masing-masing pihak.
Bagi element yang pro dengan aksi tentu peristiwa di Paris menjadi inspirasi dan spirit baru bagi mereka dimanapun berada. Tapi dalam konstek Indonesia level ancaman seperti serangan di Paris resonansinya sangat rendah (minor).
Kenapa? Karena kemampuan untuk melakukan serangan terbuka secara terkordinasi dan tidak kehendus oleh pihak aparat keamanan itu tidak dimiliki atau belum dimiliki sel-sel kelompok yang selama ini dianggap terkait jaringan IS-ISIS di Indonesia. Meski pernah ada eksperimen kecil-kecilan dan sangat amatiran untuk melakukan serangan bom.
Prediksinya, Indonesia relatif kondusif dan aman dari gangguan sejenis serangan di Paris Prancis. Para pengikut IS-ISIS dari Indonesia lebih berhasrat untuk hijrah (pindah) ke Suria wilayah IS daripada bertahan. Andaikan muncul ganguan itu potensial bisa jadi rembesan dari wilayah timur Indonesia, di sana ada kelompok Santoso yang selama ini dijadikan “icon” kelompok terorisme oleh Polri dan BNPT. Atau muncul dari lonewolf yang terkondisikan oleh “siluman” untuk melakukan serangan dengan target di balik itu mengais keuntungan dari proyek war on terrorism. Wallahu a’lam bisshowab.*
Oleh: Harits Abu Ulya pada hidayatullah.com
Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA
Kalau mau obyektif kalkulasi akibat state terrorism ini jauh lebih besar korban nyawa dan material dari apa yang terjadi di Paris hari ini. Dan masyarakat sipil Barat khsususnya Paris Prancis kini merasakan bahwa apapun bentuk teror dan terorisme itu kontra dengan kecondongan fitrah manusia.
Dan jika mau obyektif, semua tidak bisa terima terorisme baik yang dilakukan individu, kelompok maupun negara apalagi gabungan negara-negara atas nama apapun.
Peristiwa serangan Paris bukanlah peristiwa independen namun sebelumnya ada stimulan dan fariabel pelengkapnya.
Terorisme masih konstan sebagai fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS) dan sekutunya, imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
Selain itu adalah adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Klaim dari pihak IS-ISIS atas serangan di Paris, jelas bagi dunia Barat dengan mudah bisa menghakimi sebagai aksi terorisme produk dari kelompok Islam. Tapi penting kiranya bagi kita secara kritis menghadirkan pisau analisis framework rasional untuk mengeja tragedi Paris.
Metodologi ini mengkaji korelasi antara kasus terorisme dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi diantara keduanya.Dalam framework ini pelaku dan sasaran diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis.
Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.
Dalam framework rasional berasumsi kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan “teror”. Frame ini mengharuskan evaluasi terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak; pelaku dan sasaran. Sebagai catatan, resiko logis penggunaan metodologi ini akan di anggap analisis yang obyektif dan rasional atau dianggap sebagai simpatisan tindakan terorisme karena manganalisa secara kritis sasaran terorisme, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.
Penggunaan framework rasional dinilai urgent karena mampu menjawab dua hal penting; kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya terorisme.
Belajar paska penyerangan WTC di AS yang disusul dengan kampanye Global War on Terrorism, mereka fokus menuduh the evil ediology sebagai penyebab terorisme namun abai pada faktor penyebab lain. Akhirnya solusi yang digelar justru malahirkan spiral kekerasan yang tidak berujung. “Teroris” dengan aksi terornya konfrontatif dengan teror oleh kekuatan negara (state terrorism).
Hari ini kita juga menyaksikan konflik di kawasan Timur Tengah tidak bisa di katakan steril dari campur tangan dunia Barat. Bahkan mereka melanjutkan deklarasi Global War on Terrorism dengan memobilisasi kekuatan koalisi negara-negara Barat konfrontasi langsung di Aghanistan, Iraq dan terkini adalah Suriah.
Tindakan koalisi ini disambut dengan perlawanan dari berbagai komponen di Suria yang memiliki beragam ideologi maupun kekuatan. Mengikuti framework rasional secara konsisten kita bisa ambil kesimpulan kenapa Paris-Prancis jadi sasaran target dari kelompok IS-ISIS?
Pilihan Prancis terlibat dalam konflik Suriah bersama negara koalisi adalah jawabannya. Disamping Prancis menjadi negara terbuka yang mengaminkan peluang munculnya tindakan yang melahirkan ketersinggungan yang amat sangat terkait dimensi keyakinan.
Dari sini kita melihat benang merah bahwa kasus Paris adalah analog kecil dari peristiwa runtuhnya WCT. Peristiwa WTC bisa di anggap sebagai artikulasi penting dari akumulasi perlawanan sporadis oleh kelompok Islam terhadap imperialisme Barat dan AS menjadi representasi utamanya.
Begitu juga aksi Paris, bisa di anggap sebagai representasi perlawanan di kandang musuh atas pilihannya terlibat konflik berdarah di Suriah. Dan yang terjadi tidak bisa di negasikan korelasinya dengan konteks perang dan bukan semata-mata terorisme.
Meski disisi lain, target besar di balik serangan sangat mungkin bukan sekedar “dendam” atau perlawanan atas Prancis, tapi menebar serangan secara meluas untuk semua negara Barat yang tangan mereka dianggap berdarah-darah di bumi Suriah. Sekaligus sebagai sinyal jawaban atas apa yang terjadi di Suriah dan sekitarnya, berikut memancing semua negara-negara Barat masuk terseret jauh dalam kubangan konflik Suriah khususnya.
Bagaimana Indonesia harusnya bersikap atas peristiwa teror di Paris kali ini? Apakah teror susulan akan muncul di tempat yang berbeda?
Bagaimana potensi serangan tersebut terjadi di Indonesia? Jika cermat melihat pola dan spirit dibalik aksi ini maka aksi susulan sangat berpeluang terjadi khususnya konsisten diarahkan ke negara-negara yang dianggap terlibat dan tangan mereka berdarah-darah di konflik Suriah khususnya.
Respon pemerintah Indonesia harus proporsional, khususnya instansi terkait tidak perlu berlebihan yang justru terkesan bisa menjadi sumber kepanikan baru di Indonesia.
Serangan di Paris rasionalnya adalah negara tetangga seperti Inggris atau negara koalisi yang terlibat perang di Suriah yang perlu siaga untuk antisipasi kemungkinan serangan aksi susulan. Tereksposnya kasus di Paris secara global resikon
ya melahirkan beragam sikap dan akibat, ini tergantung sudut pandang masing-masing pihak.
Bagi element yang pro dengan aksi tentu peristiwa di Paris menjadi inspirasi dan spirit baru bagi mereka dimanapun berada. Tapi dalam konstek Indonesia level ancaman seperti serangan di Paris resonansinya sangat rendah (minor).
Kenapa? Karena kemampuan untuk melakukan serangan terbuka secara terkordinasi dan tidak kehendus oleh pihak aparat keamanan itu tidak dimiliki atau belum dimiliki sel-sel kelompok yang selama ini dianggap terkait jaringan IS-ISIS di Indonesia. Meski pernah ada eksperimen kecil-kecilan dan sangat amatiran untuk melakukan serangan bom.
Prediksinya, Indonesia relatif kondusif dan aman dari gangguan sejenis serangan di Paris Prancis. Para pengikut IS-ISIS dari Indonesia lebih berhasrat untuk hijrah (pindah) ke Suria wilayah IS daripada bertahan. Andaikan muncul ganguan itu potensial bisa jadi rembesan dari wilayah timur Indonesia, di sana ada kelompok Santoso yang selama ini dijadikan “icon” kelompok terorisme oleh Polri dan BNPT. Atau muncul dari lonewolf yang terkondisikan oleh “siluman” untuk melakukan serangan dengan target di balik itu mengais keuntungan dari proyek war on terrorism. Wallahu a’lam bisshowab.*
Oleh: Harits Abu Ulya pada hidayatullah.com
Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA